Pages

Wednesday, December 1, 2010

Pemerintah Pusat Mengusik 'Monarki' Yogyakarta

Beberapa hari terakhir ini pelbagai media masa memberitakan tentang Yogya. Entah angin dari mana yang membawa berita ini mencuat ke pelbagai media masa. Diantara berita tentang gayus dan gunung Bromo, berita tentang Yogya muncul begitu saja.

Berawal dari pernyataan SBY pada saat membuka rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (26/11/2010), menyatakan, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.

Keistimewaan Yogyakarta seperti dibangunkan kembali dari tidur panjangnya. Yogya memiliki historis yang penting dan juga kontribusinya terhadap NKRI tidak bisa dipandang sebelah mata. Di zaman awal kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta pernah menjadi ibu kota Indonesia. Ini berkat sultan menawarkan ibu kota dipindah ke Yogyakarta karena saat itu Belanda datang lagi dan Repubulik hampir ambruk karenanya.



Ini sebenarnya hanya masalah penetapan Sultan sebagai kepala daerah, atau tetap sebagai sultan. Mungkin tujuan Prediden SBY adalah mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan warisan tradisi Keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang selama satu dekade di era reformasi ini. Tapi setiap wilayah memiliki kearifan lokal dan historis yang berbeda-beda. Maka harus disikapi dan ditangani dengan cara yang berbeda. Contohnya daerah Aceh. Aceh memiliki keistimewaan yaitu menerapkan peraturan Islam didaerahnya.

Sebenarnya, draf RUU Keistimewaan Yogyakarta telah lama dibahas oleh pemerintah dan DPR. Sejauh ini, ada 6 keistimewaan yang telah disepakati pemerintah dan Komisi II DPR. Namun, ada satu keistimewaan yang belum menemui titik temu, yakni tata cara pemilihan pemimpin Yogyakarta. Selama ini, jabatan gubernur dan wakil DIY dipegang pihak keraton secara turun-temurun. Namun, dengan draf RUU Keistimewaan ini, hal itu bisa berubah.

Didalam draf RUUK (Rancangan Undang Undang Keistimewaan) DIY yang akan diajukan pemerintah ke DPR, Sultan HB X dan Paku Alam akan menduduki jabatan baru, yaitu Parardhya. Didalam institusi Parardhya nantinya Sultan HB X dan Paku Alam akan memiliki beberapa kewenangan khusus, dan mendapatkan hak imunitas alias tidak bisa dijangkau hukum. Jelas bahwa itu bertentangan dengan konstitusi, dan jelas itu justru monarki, bukan demokratis.

Menilai sistem pemerintahan di Provinsi DIY bersifat monarki adalah jelas salah. Kalau memang ada anggapan monarki, itu istilah dalam simbolisasi kultural Jawa. Monarki yang seperti itu jelas bukan monarki politik. Ada dua monarki yaitu monarki absolut dan monarki konstitusional. Dan jelas bahwa daerah Yogya bukan monarki absolut. Sebab adminstratif pemerintahannya sama dengan provinsi-provinsi yang lain,  sesuai dengan Undang-Undang Dasar, UU, dan peraturan pelaksanaannya.

Jika dipermasalahan ini tidak segera diselesaikan, ditakutkan akan terjadi konflik antara pemerintah pusat dengan orang-orang yang pro-penetapan. Sebab pendukung pro-penetapan sudah mulai menunjukkan aksinya. Seperti, jika pemerintah pusat tetap bersikukuh memaksakan konsep pemilihan gubernur dan wakil gubernur DI Yogyakarta dalam RUUK DIY, pendukung pro-penetapan akan marah dan bertekad melakukan perlawanan politik secara masif. Selain itu, pendukung pro-penetapan juga siap menggelar sidang rakyat untuk menetapkan sendiri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY.

Hal ini jelas membahayakan bagi keutuhan NKRI. Jangan sampai kondisi Yogya sama seperti yang dulu terjadi di Aceh dan Papua. Di Aceh, muncul kelompok keras, GAM, yang melawan pemerintah pusat dan berusaha lepas dari NKRI. Di Papua, ada kelompok OPM, yang tidak jauh dengan GAM, yaitu sama-sama kelompok bergaris haluan keras. Kedua kelompok tersebut sama-sama ingin wilayah mereka lepas dari NKRI dan membentuk negara baru. Maka dari itu, pemerintah dan Sulatan harus segera menemukan titik tengah agar tidak terjadi konflik yang lebih mencuat ke permukaan. Dan kemungkinan yang paling buruk adalah Yogyakarta lepas dari NKRI. Karena sesuai dengan amanat Sri Sultan HB IX dan KGPAA Paku Alam, 5 September 1945, bahwa penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur adalah "mas kawin" yang disepakati Republik saat itu. Jika mas kawin itu diminta kembali, maka seperti kerap disebut Sultan HB X, berarti "ijab kabul" batal. Anda tahu artinya, kan?


No comments: