Pages

Tuesday, November 23, 2010

Kuliah Tamu “Menulis Populer”

Sistem Informasi, ITS - Pada hari Jum’at, 12 Nopember 2010, diadakan kuliah tamu oleh bapak Rudi Santoso dengan tema “Menulis Popler”. Menurut beliau, kemampuan menulis dipegang oleh tiga hal: mendengar, melihat, dan membaca. Jika seseorang tidak pernah mebaca, tidak pernah melihat atau menyimak, dan tidak pernah membaca, bisa dipastikan kemampuan menulisnya terbatas. Terutama membaca. Karena dengan membaca sebenarnya pengetahuan kita bertambah. Jika kita ingin berbakat dalam menulis maka kita harus sering berlatih menulis. Salah satu caranya adalah meniru gaya tulisan seseorang.

Menurut beliau, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menulis populer. Yaitu:

Sederhana
Ketika menulis, sebaiknya menggunakan kalimat dan paragraf sederhana. Tidak terlalu panjang, dan tidak beranak-cucu. Makin panjang kalimat, makin mudah kita sendiri sebagai penulis tersesat, dan apalagi pembaca.



Masihkah kita bisa menunjuk mana subyek, mana predikat dan mana obyek dalam kalimat itu? Jika tidak bisa, kita sederhanakan kalimat tersebut. Kita pecah kalimat panjang menjadi dua atau mungkin tiga.

Memakai bahasa sederhana yang kita ambil dari kehidupan sehari-hari di sekeliling kita. Berbicara dan menulis adalah hal yang sama pada dasarnya, tapi kita sering memandang bahwa menulis harus berbeda dari ketika kita bicara sehingga justru mempersulit kita, dan mempersulit pembaca juga.

Memakai struktur tulisan yang sederhana yang memudahkan pembaca mencernanya.
Struktur PROBLEM-SOLUSI (pertama kita memaparkan problem, dan setelahnya menggelar pemecahannya), atau Struktur SEBAB-AKIBAT (kita bisa mulai dari AKIBAT dulu, sebuah
fenomena yang memiliki dampak kepada pembaca, lalu memaparkan
sebab-sebab kenapa itu terjadi).

Orientasi kepada pembaca
Salah satu langkah terpenting dalam menulis populer adalah menyadari untuk siapa tulisan kita dibaca dan apa tujuannya. Kuncinya: kita harus paham siapa mereka dan berempati kepada mereka. Berempati artinya "memudahkan pembaca" bukan menyiksa pembaca, orang-orang yang telah menyediakan waktu dan mengabaikan kesibukan lain untuk membaca tulisan kita.

Pembaca media sangat beragam. Tapi, bahkan pembaca koran seperti Kompas atau majalah seperti Tempo yang relatif terpelajar, harus kita anggap awam. Maksudnya, pembaca koran dan majalah itu mungkin seorang bergelar doktor, tapi seorang doktor belum tentu memahami soal di luar bidang kajiannya. Seorang doktor ekonomi, misalnya, akan awam dalam bidang hukum atau genetika. Ukuran awam yang paling mudah: siswa SMA, atau pedagang rokok pinggir jalan. Ketika Anda menulis, bayangkan apakah tulisan Anda itu bisa mereka pahami?

Hindari istilah asing
Makin hari media kita dipenuhi oleh bahasa asing, terutama Inggris. Sebagian tak terhindarkan; dunia kita makin sempit dan bahasa internasional yang paling banyak lalu-lalang memang bahasa Inggris. Tapi, kita harus sadar bahwa kita sedang berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia untuk orang Indonesia.

Kita cari padan kata dalam bahasa Indonesia, tapi tetap yang populer dan mudah dipahami. Kita akan tetap memilih kata men-"download" ketimbang "mengunduh".

Tapi, padan kata saja tidak cukup. Kita harus mencari tahu pengertian dasar sebuah istilah dan mencoba menjelaskan dalam bahasa kita sendiri sehingga mudah dimengerti. Seorang penulis populer, misalnya, akan menghindari kata "inflasi" (karena takkan dipahami pedagang rokok
pinggir jalan), dan cenderung memilih "naiknya harga barang dan jasa".

Seorang penulis populer harus berusaha keras, membaca lebih banyak, dan mencari tahu lebih gigih. Dia harus menguasai setiap istilah yang dia pakai. Memakai istilah asing tidak hanya menyulitkan pembaca, tapi bahkan sering menjadi persembunyian seorang penulis yang malas; mereka asal mengutip saja istilah yang dia sendiri tidak memahaminya.

Hindari jargon, singkatan, dan akronim
Jargon,adalah istilah atau kosakata yang hanya dipakai dan dipahami di lingkungan tertentu.
Kita sering mendengar banyak istilah seperti ini tanpa tahu apa makna sebenarnya: senpi, curas, curat dan sejenisnya. Bahkan jika kita tahu "curat" adalah akronim dari "pencurian dengan pemberatan" dan "curas" adalah "pencurian dengan kekerasan", kita tidak bisa membedakannya. Dalam hidup sehari-hari kita lebih mudah memahami: pencopetan,
perampokan, pembegalan.

Jargon, akronim dan singkatan mempersulit komunikasi yang lancar antar-berbagai komponen masyarakat. Masing-masing kelompok berbicara dengan bahasa dan istilah yang hanya dipahami anggotanya. Masyarakat terpecah dalam pulau-pulau sendiri yang saling asing. Masyarakat sulit
saling-memahami dan sulit mengerahkan upaya bersama untuk keluar dari kiris mereka.

Penulis populer harus berusaha keras menghindari jargon, akronim dan singkatan. Kita perlu bekerja keras untuk memakai bahasa dan istilah yang dipahami secara relatif universal oleh pemakai bahasa Indonesia.

Spesifik dan Konkrit
Tulisan populer perlu menyajikan sesuatu yang nyata dan spesifik, bukan pernyataan-pernyataan yang abstrak dan kabur.
Dalam beberapa contoh, kita juga bisa melihat bahwa pemakaian jargon sering mencegah kita untuk mengungkapkan sesuatu yang kongkret dan spesifik. Singkatan KKN, misalnya, adalah sesuatu yang abstrak dan ambigu. Kenapa kita tidak menulis "mencuri uang publik", "berkomplot membobol duit rakyat" dan "membiarkan anak dan istri terlibat bisnis
pemerintah".

Salah satu cara menyajikan tulisan spesifik adalah dengan meniadakan kata sifat dan mengambil prinsip "tunjukkan/lukiskan, bukan katakan".
Tinggi. Seberapa tinggi: dua meter, setinggi menara Monas?
Kaya. Seberapa kaya: punya sedan Jaguar lima biji?

Detil yang relevan
Menulis populer adalah menulis jelas. Untuk menjadi jelas kita kadang harus menyajikan sesuatu secara rinci atau mendetil. Tapi, kita harus ingat bahwa terlalu banyak detil justru sering mengganggu pemahaman dan kelancaran membaca. Kita harus memilih detil yang relevan. Tulisan yang penuh detil-tak-relevan adalah seperti pohon yang terlalu banyak cabang, sehingga pembaca tidak melihat pohon.

Jarak Anyer-Panarukan mungkin tepatnya 1.023 km. Tapi, bukankah kita bisa menulis "jarak Anyer-Panarukan sekitar 1.000 km"?
Tingkat kemiskinan di suatu kabupaten mungkin tepatnya 51%. Tapi, bukankah tidak salah jika kita menulis "sekitar separo penduduk Kabupaten Wonosobo miskin"?

Analogi yang sederhana
Beberapa konsep dan angka yang abstrak dan ruwet bisa disederhanakan dalam analogi yang mudah dicerna pembaca.
Lahan pekarangan seluas 3 ha misalnya bisa dianalogikan dengan "lahan seluas tiga kali lapangan sepakbola".

    2 comments:

    M. Rijaluddin R.H said...

    Nice Post :D

    visit my blog : http://www.catatanrijal.blogspot.com/

    Unknown said...

    haha oke jal :D